8 Pekerja Menara Komunikasi di Beoga Tewas Ditembak Separatis Papua |
- 8 Pekerja Menara Komunikasi di Beoga Tewas Ditembak Separatis Papua
- Adriana Helena Carolina Sebut Produksi Padi Papua 2021 Naik 72,46 Persen
- Helikopter Militer Rumania Jatuh di Laut Hitam Saat Mencari Pesawat Tempur yang Hilang
- Mayoritas Anggota PBB Tegur Rusia Hentikan Perang dan Tarik Pasukan dari Ukraina
- Imbas Perang, Kapal Pesiar Senilai Rp8 Miliar Milik Oligarki Rusia Disita Jerman
- Waspadai Ancaman Operasi Militer Rusia, Finlandia dan Swedia Adakan Latihan Militer Bersama
- Presiden Ukraina, Zelensky Tunjuk Mantan Komandan Neo-Nazi Sebagai Gubernur Odessa
- New Report Reveals Extent of Chinese Surveys in South China Sea
- Indonesian Military Probes Death of Papuan Child ‘Tortured’ Over Alleged Firearm Theft
- Amerika Serikat Pasok Amunisi Stringer dan Javelin ke Untuk Perang Rusia - Ukraina
- ASEAN Response to Ukraine Crisis a Show of 'Diplomatic Cowardice'
- TNI Lakukan Penyelidikan Kematian Makilon Tabuni, Siswa Puncak Dituduh Mencuri Senjata
- Jokowi Berdialog dengan Talenta Muda Indonesia pada Bidang Digital di Luar Negeri
8 Pekerja Menara Komunikasi di Beoga Tewas Ditembak Separatis Papua Posted: 03 Mar 2022 02:53 PM PST JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Delapan karyawan yang sedang memperbaiki menara komunikasi seluler tewas dibunuh oleh kelompok separatis di Provinsi Papua, kata otoritas keamanan setempat, Kamis (3/3/2022). Peristiwa di Kabupaten Puncak yang terjadi pada hari Rabu itu merupakan serangan yang paling mematikan setelah penembakan terhadap para pekerja yang membangun jalan Trans Papua di Kabupaten Nduga pada Desember 2018 yang menewaskan 20 orang termasuk seorang tentara. Para karyawan yang bekerja untuk PT Palapa Timur Telematika (PTT) itu diserang oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) - sayap bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka, saat mereka memperbaiki menara seluler Telkomsel di Distrik Beoga, Puncak, kata juru bicara satuan Operasi Damai Cartenz 2022 TNI-Polri, Kombes Ahmad Musthofa Kamal. "Delapan karyawan PTT tewas dibunuh kelompok kriminal bersenjata saat melakukan perbaikan tower base transceiver station 3 Telkomsel di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak," kata Kamal dalam pernyataan tertulis. "Penyerangan yang dilakukan terjadi pada Rabu, namun baru diketahui hari ini," tambahnya. Kamal mengatakan bahwa penyerangan tersebut diketahui ketika salah satu karyawan Palapa yang berinisial NS menghubungi petugas via telpon pada Kamis. NS mengaku tidak berada di lokasi peristiwa saat terjadi penyerangan dan baru mengetahui kedelapan rekannya telah meninggal dunia saat kembali ke lokasi camp. Kamal mengatakan, petugas belum dapat melakukan evakuasi terhadap delapan korban itu karena terkendala cuara, sementara akses menuju lokasi hanya bisa melalui jalur udara. Pihak Polres Puncak saat ini sudah membentuk tim untuk menuju ke tempat kejadian untuk membantu proses evakuasi dan melakukan penyelidikan. TPNPB mengaku sebagai pihak yang melakukan penembakan tersebut. "Kami sudah tembak mati delapan orang. Satu orang jatuh ke jurang saat kami tembak. Jadi, kami tidak tahu kondisi dia," kata TPNPB dalam pernyataan tertulis. Dalam siaran persnya, TPNPB membeberkan identitas para korban, yaitu Renal Tagasye, Syahril Nurdiansyah, Eko Septiansyah, Ibo, Nelson Sarira, Jamaludin, Iwan Bin Dartini dan satu orang yang masuk ke jurang saat ditembak. TPNPB menuntut pemerintah Indonesia untuk segera mencabut surat rekomendasi tambang emas Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, menutup tambang yang dikelola PT Freeport Indonesia dan menyelesaikan kasus pelanggaaran hak asasi manusia di Tanah Papua. "Selama pemerintah terus bahas blok Wabu, Freeport masih jalan, kami akan terus lawan dan lawan sampai titik darah penghabisan," demikian pernyataan TPNPB. Juru bicara Kodam Cenderawasih Kolonel Aqsha Erlangga mengatakan korban akan dievakuasi pada Jumat. "Kemungkinan dari Polda Papua dan juga perbantuan dari Kodam XVII/Cenderawasih bersama akan membantu evakuasi serta sudah barang tentu Polda Papua akan mencari pelaku pembunuh karena ini adalah kejahatan kriminal luar biasa," kata Aqsha dalam pernyataan kepada wartawan. "Karena merupakan kejahatan kriminal luar biasa yang mengakibatkan delapan orang masyarakat sipil meninggal dunia, maka penanganan akan ditangani oleh pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Papua," ujarnya. Penyerangan fatal terhadap para pekerja itu terjadi beberapa hari setelah adanya laporan dari para ahli hak asasi manusia PBB yang mengecam pemerintah Indonesia atas memburuknya situasi kemanusiaan di Papua seperti "pembunuhan di luar proses hukum - termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan." kata para pelapor PBB. Tudingan itu ditolak oleh kantor misi PBB Indonesia di Jenewa yang menuduh balik pelapor hak asasi manusia PBB itu sebagai "tidak lebih dari sebuah monolog, yang tampaknya dirancang semata-mata untuk tujuan kepentingan mereka sendiri." Misi Indonesia mengatakan pengerahan personel keamanan di Papua diperlukan karena adanya serangan "yang merajalela" oleh kelompok separatis terhadap warga sipil. Penyerangan terhadap patroli TNI Pada Kamis, Aqsha mengatakan satu anggota TNI terluka dalam penyerangan dan penembakan oleh sekitar 15 pejuang separatis bersenjata laras panjang terhadap patroli di pos Koramil Dambet, Beoga, sekitar 15 kilometer dari lokasi kejadian penembakan terhadap pekerja menara. "Saat memperbaiki saluran air itulah tiba-tiba KST [kelompok separatis teroris] menyerang dan menembaki anggota TNI yang sedang berpatroli," tambahnya. Sementara itu, masyarakat sipil dilaporkan mengungsi ke sebuah gereja di Beoga akibat adanya baku tembak. "Sore ini kami masyarakat pengungsi Beoga kumpul di Gereja Milawak 1. Tolong advokasi. Amolongo," demikian tertulis pada dinding akun Facebook "Info Beoga". Pada akun tersebut juga dilampir tujuh foto yang menggambarkan masyarakat dan anak-anak duduk di halaman luas dengan latar belakang sebuah bangunan gereja. Konflik separatis telah berlangsung di Papua sejak tahun 1960-an. Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969, namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang. Pada 2003, Papua dibagi menjadi dua provinsi – Papua dan Papua Barat. Kekerasan di Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan korban tewas dari pihak aparat keamanan, kelompok separatis dan rakyat sipil serta ribuan warga terpaksa mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri. (Yuliana Lantipo| BenarNews) | ||
Adriana Helena Carolina Sebut Produksi Padi Papua 2021 Naik 72,46 Persen Posted: 03 Mar 2022 02:48 PM PST
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Adriana Helena Carolina mengatakan produksi padi Bumi Cenderawasih 2021 mengalami kenaikan sekitar 120.278 ton GKG (Gabah Kering Giling) atau meningkat sebesar 72,46 persen dibanding 2020 lalu yang sebesar 166.002 ton GKG. Dimana produksi padi di Provinsi Papua sepanjang Januari hingga Desember 2021 diperkirakan sekitar 286.280 ton GKG (gabah kering giling). "Sementara produksi padi tertinggi pada 2021 terjadi pada April, yaitu sebesar 57.200 ton GKG dan terendah di Februari dengan 2.928 ton GKG," terang Adriana di Jayapura, Rabu. Dia katakan, tiga kabupaten atau kota dengan total produksi padi (GKG) tertinggi pada 2021, yakni Merauke, Nabire dan Jayapura. Sedangkan tiga kabupaten atau kota dengan produksi padi terendah, yaitu Jayawijaya, Waropen dan Boven Digoel. "Tiga kabupaten atau kota dengan potensi produksi padi (GKG) tertinggi pada Januari hingga April 2022 adalah Merauke, Nabire dan Jayapura, sementara itu, tiga kabupaten/kota dengan potensi produksi padi terendah pada periode yang sama adalah Jayawijaya, Sarmi, dan Boven Digoel," jelasnya lagi. Dia menambahkan pada 2021, luas panen padi mencapai sekitar 64.985 hektar dengan produksi sebesar 286.280 ton GKG di mana jika dikonversikan menjadi beras, maka produksi beras pada 2021 diperkirakan mencapai 163.462 ton. Berbeda dengan kondisi pada 2021, produksi padi tertinggi pada 2020 terjadi pada Mei di mana peningkatan produksi padi yang cukup besar pada 2021 terjadi di beberapa wilayah potensi penghasil padi seperti Merauke, dan Nabire. "Namun terdapat beberapa kabupaten atau kota yang mengalami penurunan produksi padi relatif besar, misalnya Jayapura, Kota Jayapura, dan Keerom". "Kemudian produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 163.462 ton, mengalami kenaikan sebanyak 68.677 ton atau 72,46 persen dibandingkan produksi beras di 2020 yang sebesar 94.785 ton," tandasnya. (diskominfopapua) | ||
Helikopter Militer Rumania Jatuh di Laut Hitam Saat Mencari Pesawat Tempur yang Hilang Posted: 02 Mar 2022 03:15 PM PST BUKARES, LELEMUKU.COM - Helikopter IAR 330 milik militer Rumania yang berangkat untuk mencari Mig-21 Lancer yang menghilang dari radar di atas Laut Hitam pada Rabu (02/03/2022) dilaporkan mengalami kecelakaan. Kementerian Pertahanan Rumania mengkonfirmasi fakta kecelakaan itu. Helikopter Puma tersebut dilaporkan jatuh setelah pilot melaporkan kondisi cuaca buruk di wilayah Constanta. Militer Rumania sendiri telah menjangkau lokasi jatuhnya helikopter dan menemukan puing-puingnya. Dilaporkan ada lima tentara yang dipastikan menjadi korban jiwa. Jet tempur MiG-21 Lancer sendiri dilaporkan menghilang dari radar 13 menit setelah lepas landas dari pangkalan udara Mihail Kogalniceanu. Pesawat itu sedang berpatroli di atas Dobruja. (Albert Batlayeri) | ||
Mayoritas Anggota PBB Tegur Rusia Hentikan Perang dan Tarik Pasukan dari Ukraina Posted: 02 Mar 2022 02:58 PM PST
NEW YORK, LELEMUKU.COM - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Rabu (02/03/2022) memberikan suara mayoritas untuk menegur Rusia karena menyerang Ukraina dan menuntut agar Presiden Vladimir Putin berhenti berperang dan menarik pasukan militernya. Resolusi tersebut, yang didukung oleh 141 dari 193 negara anggota majelis itu, disahkan dalam sesi darurat yang diadakan oleh Dewan Keamanan PBB di Markas Besar PBB di Manhattan, New York City, AS. Sementara suara menentang oleh Rusia didukung oleh 4 negara yakni Belarus, yang telah menjadi lokasi peluncuran pasukan invasi Rusia, Eritrea, Korea Utara dan Suriah. Sementara 35 anggota lainnya, termasuk China, India, Iran dan Vietnam menyatakan abstain. Teks resolusi itu secara umum menyatakan penyesalan adanya "agresi Rusia terhadap Ukraina." Utusan Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, membantah Moskow menargetkan warga sipil dan menuduh negara-negara barat menekan anggota majelis untuk meloloskan resolusi, yang menurut dia adopsi dapat memicu kekerasan lebih lanjut. Dia menegaskan bahwa tindakan Rusia dalam operasi militer khusus itu bertujuan untuk mengakhiri serangan yang diklaim terhadap warga sipil di republik Donetsk dan Luhansk yang dideklarasikan sendiri oleh Moskow di Ukraina Timur. Nebenzia juga menyatakan militer Ukraina telah menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia dan menyebarkan senjata berat di wilayah sipil. Sementara utusan dari China, Zhang Jun, mengatakan keputusan resolusi itu tidak diambil dengan konsultasi penuh ke seluruh anggota majelis. "Keputusan ini juga tidak mempertimbangkan sepenuhnya sejarah dan kompleksitas krisis saat ini. Tidak menyoroti pentingnya prinsip keamanan yang tidak dapat dibagi, atau urgensi untuk mempromosikan penyelesaian politik dan meningkatkan upaya diplomatik yang tidak sejalan dengan posisi konsisten China," kata dia. China, yang semakin dekat dengan Rusia dalam beberapa tahun terakhir, mengatakan tidak akan berpartisipasi dalam sanksi Barat terhadap Moskow. "Kejahatan tidak akan pernah berhenti. Itu membutuhkan lebih banyak dan lebih banyak ruang," kata utusan Ukraina untuk PBB, Sergiy Kyslytsa, dalam mendesak pengesahan resolusi, menyebutnya "salah satu blok bangunan untuk membangun tembok untuk menghentikan" serangan Rusia. Setelah hampir seminggu, Rusia belum mencapai tujuannya untuk menggulingkan pemerintah Ukraina. Ini telah menghadapi reaksi internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama dari Barat, yang sanksinya telah melumpuhkan sistem keuangan Rusia sementara negara-negara multinasional raksasa telah menarik investasi keluar. (Reuters) | ||
Imbas Perang, Kapal Pesiar Senilai Rp8 Miliar Milik Oligarki Rusia Disita Jerman Posted: 02 Mar 2022 02:40 PM PST BERLIN, LELEMUKU.COM - Pemerintah Jerman Kapal menyita pesiar super milik miliarder Rusia Alisher Usmanov di Hamburg. Kapal ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan bernilai hampir $600 juta atau Rp8,6 miliar. Para miliarder Rusia atau yang dikenal dengan sebutan Oligarki ini telah menjadi sorotan sejak presiden mereka Vladimir Putin menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Dalam pidato kenegaraannya pada hari Selasa, Presiden Joe Biden mengatakan pemerintahannya akan bekerja dengan negara-negara Eropa untuk menargetkan oligarki Rusia dengan merebut "yacht mereka, apartemen mewah mereka dan jet pribadi mereka." Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap enam oligarki Rusia pada hari Senin, sehingga jumlah total miliarder Rusia yang terkena sanksi menjadi 16. Setidaknya dua kapal pesiar milik miliarder yang terkena sanksi itu—Alexey Mordashov dan Alisher Usmanov—terakhir dilacak di Italia dan Jerman. Menurut Forbes, aset pribadi mereka di Uni Eropa, dari jet pribadi dan superyacht hingga real estat mewah, kemungkinan telah dibekukan. Sementara ekonomi Rusia jatuh di bawah beban sanksi, kapal pesiar yang dimiliki oleh miliarder negara itu berlabuh di iklim yang jauh lebih cerah dari Monako dan Barcelona hingga Dubai dan Seychelles. (Albert Batlayeri) | ||
Waspadai Ancaman Operasi Militer Rusia, Finlandia dan Swedia Adakan Latihan Militer Bersama Posted: 02 Mar 2022 02:27 PM PST
HELSINKI, LELEMUKU.COM - Finlandia dan Swedia melaksanakan latihan militer bersama guna mencegah dan menghadapi adanya ancaman operasi militer Rusia ke negara-negara Skandinavia. Pelatihan itu mengambil bagian di wilayah maritim barat Pulau Gotland pada Rabu (02/03/2022). "Situasi keamanan yang intensif menekankan pentingnya kerjasama yang baik dan pelatihan bersama. Kami menjaga wilayah kami sendiri," menurut rilis resmi dari Angkatan Pertahanan Finlandia. Kedua negara itu sendiri telah memutuskan untuk meningkatkan pengiriman senjata ke Ukraina di tengah konflik di sana. (RT) | ||
Presiden Ukraina, Zelensky Tunjuk Mantan Komandan Neo-Nazi Sebagai Gubernur Odessa Posted: 02 Mar 2022 03:41 AM PST KIEV, LELEMUKU.COM - Presiden Ukraina, Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy menunjuk mantan komandan Batalion Nasionalis Aidar ang beraliran Neo-Nazi sebagai gubernur di Provinsi Odessa pada Rabu 2 Maret 2022. Menurut rilis dari grup telegram militer Ukraina, Maxim Marchenko merupakan memimpin batalion kelompok garis keras-kanan yang menyerang etnik Rusia pada 2015-2017. Penunjukkan ini dilakukan sebagai bentuk pengamanan wilayah Odessa yang masih berada didalam serangan militer Rusia. Batalion milisi Aidar merupakan salah satu kelompok yang dituding sebagai pelaku kejahatan perang yang dilakukan otoritas Ukraina yang berkuasa setelah kudeta 2014 lalu. Saat kubu nasionalis dan neo-Nazi secara ilegal merebut kekuasaan di seluruh negeri Ukraina, mereka menghadapi oposisi dari gerakan "anti-Maidan" yang menentang kudeta. Bentrokan antara neo-Nazi dan pengunjuk rasa anti-Maidan terjadi di seluruh negeri, tetapi apa yang terjadi di Odessa pada 2 Mei 2014 akan dikenang sebagai salah satu halaman tergelap dalam sejarah Ukraina. Setelah pertempuran jalanan dengan neo-Nazi, para pengunjuk rasa anti-Maidan membarikade diri mereka di satu rumah serikat pekerja lokal. Lawan mereka, yang didukung oleh otoritas Ukraina yang baru, mengepung gedung itu dan membakarnya menggunakan bom bensin. Ketika kobaran api berkobar di lantai dua dan tiga gedung itu, beberapa ratus orang yang terperangkap di dalam berusaha mati-matian untuk melarikan diri. Sebanyak 10 orang di antaranya jatuh hingga tewas. 32 orang lainnya meninggal karena luka bakar parah dan sesak napas akibat asap. Sebanyak 250 orang lainnya berhasil lolos dari jebakan maut dengan berbagai luka saat petugas pemadam kebakaran tiba di tempat kejadian satu jam setelah kebakaran terjadi. Selain mengerahkan pasukan reguler untuk menembaki kota-kota DPR dan LPR, kepemimpinan Kiev yang baru menarik beberapa yang disebut "batalyon sukarelawan" terdiri atas kelompok orang-orang brutal, seringkali nasionalis dan mantan narapidana, didanai dan dilengkapi oligarki Ukraina dan pengusaha dengan koneksi ke pemerintahan baru. Anggota mereka sering terlibat dalam berbagai kejahatan perang, mulai dari penjarahan hingga pembunuhan warga sipil dan pemerkosaan. Salah satu batalyon tersebut, dijuluki "Tornado", dibubarkan pada Desember 2014 oleh Kiev menyusul banyak laporan kejahatannya, tetapi anggotanya tidak pernah diadili, dengan banyak dari mereka pindah ke batalion lain. Kejahatan dari batalion sukarelawan terkenal lainnya, "Aidar", diselidiki, didokumentasikan, dan diungkap organisasi nirlaba Amnesty International. Meskipun demikian, perbuatannya yang mengerikan itu akan tetap tidak dihukum. Salah satu dari banyak kejahatan diungkap milisi DPR di dekat tambang "Kommunar", di mana mereka menemukan mayat empat perempuan dan beberapa laki-laki, semuanya warga sipil. Mereka diikat, disiksa, dan dieksekusi dengan cara ditembak di kepala atau dipenggal. Salah satu wanita itu diyakini telah diperkosa oleh para pejuang batalion. (Albert Batlayeri) | ||
New Report Reveals Extent of Chinese Surveys in South China Sea Posted: 02 Mar 2022 03:15 AM PST
SINGAPORE, LELEMUKU.COM - The paths of Chinese survey ships across the South China Sea for the past two years show a tangle of activity straddling disputed waters off the coasts of all its maritime neighbors in Southeast Asia. A report published Tuesday by the Asia Maritime Transparency Initiative uses automatic identification system (AIS) data transmitted by Chinese ships to reconstruct where they have been conducting surveys. These surveys – for marine scientific research, oil and gas exploration along with military research, according to the report – stretch across the South China Sea, which China claims virtually in its entirety. The surveys have regularly dipped into the exclusive economic zones (EEZ) of neighboring countries including Vietnam, the Philippines and Malaysia. The report, "Chinese Surveys in the South China Sea," is aimed at providing "a better understanding of the scope of Chinese survey activities in the South China Sea" which have become an important tool for China to assert its maritime claims. AMTI is part of the Center for Strategic and International Studies, a Washington-based think tank. A map provided by AMTI shows very busy patterns of Chinese survey activities in the South China Sea during 2020-2021. The report finds that the surveys have become a standard response by China to Southeast Asian offshore oil and gas activity in the South China Sea. On many occasions, when a neighboring country began a new oil and gas activity in its EEZ, China responded by sending its own survey ships escorted by the China Coast Guard and maritime militia to the same location. "The report highlights the scale and hypocrisy of China's survey activities," said Greg Poling, the AMTI director. "Beijing conducts dozens of operations in its neighbors' EEZs every year which, if civilian in nature, are illegal or, if military, are exactly what China claims other countries are not allowed to do in its own EEZ," he said. China promoted a Law on the Exclusive Economic Zone and the Continental Shelf in 1998 after it had ratified the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) in 1996. According to the Chinese EEZ Law, any maritime or scientific research in the EEZ and the continental shelf of China would be subject to approval by the Chinese authorities. This is also the usual practice under UNCLOS, though Chinese survey ships often operate in other countries' EEZs without permission. When it comes to military activities, while most of the signatory states of UNCLOS support the view that military operations, exercises and activities have been regarded as internationally lawful uses of the sea, including within the EEZs of other states, China continues to assert its right to regulate foreign military activities in its claimed EEZ. A study by the U.S.-China Economic and Security Review Commission, a congressional advisory body, found that "China's position is based largely on its view that it has the right to prevent any activity that directly or indirectly threatens its security or economic interests." Lack of trust A survey report titled The State of Southeast Asia 2022, published by the ISEAS – Yusof Ishak Institute in Singapore, found that 41.7 percent of respondents view China as a "revisionist power" that "intends to turn Southeast Asia into its sphere of influence." It says that 58.1 percent of the respondents – policymakers, academics, researchers, businesspeople, media personnel, and civil society activists from 10 Southeast Asian countries – expressed little or no confidence in China to do the right thing to contribute to global peace, security, prosperity and governance. "This follows China's military buildups in the South China Sea in recent years and the intrusions into Southeast Asian claimant states' EEZ, with the ambitious goal of militarily dominating the South China Sea," the ISEAS report said. The new AMTI report hints at a similar goal through China's use of survey ships, ostensibly intended for research. "The immediate impact and apparent intention of these (maritime) surveys is to demonstrate Chinese control over waters it claims as its own." But there's also a practical benefit. "Aside from their symbolic goals, these surveys also produce data on seabed conditions that hold value for both civilian and military purposes," the AMTI report said. "China's pursuit of civil-military integration makes it likely that data obtained by Chinese survey vessels is shared among scientific, military, and commercial entities." China operates by far the largest fleet of government research ships in the region. According to the database of the International Maritime Organization, there are 64 registered Chinese survey ships built in or after 1990, surpassing the U.S.'s 44 and Japan's 23. During 2019-2020, China deployed 25 government ships in waters beyond its recognized national jurisdiction in the Indo-Pacific, compared to 10 from the U.S., according to AMTI. The Chinese government has yet to say anything about the AMTI report, but Beijing has maintained that its survey efforts are lawful operations in waters under its jurisdiction. Analysts said the surveys tend to respect the nine-dash line which roughly outlines China's own territorial claim over virtually the entire South China Sea and which was rejected by a U.N. tribunal in 2016. (BenarNews) | ||
Indonesian Military Probes Death of Papuan Child ‘Tortured’ Over Alleged Firearm Theft Posted: 02 Mar 2022 03:06 AM PST
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - The military is investigating the death of a boy in Indonesia's rebellious Papua region after he allegedly was tortured by soldiers who had accused him and his friends of stealing a firearm, an army spokesman in the area said Tuesday. Human rights advocates, meanwhile, are clamoring for an independent probe into the death of 12-year-old Makilon Tabuni. He died on Feb. 22 after being arrested two days earlier along with six other children for allegedly stealing a gun belonging to an Indonesian soldier in Sinak, a district of Puncak regency in Papua province, a resident said. "The investigation team is already in Sinak district, Puncak regency. The investigative team has inspected the location of the incident at the Sinak Airport Command Post, where the firearm disappeared, and the location of the alleged abuse," Col. Aqsha Erlangga, the spokesman for the provincial military garrison, told BenarNews. "The investigation team has also investigated a number of … soldiers who are suspected of having knowledge of and being directly related to the incident of the missing weapon. … I hope the public can be patient because the investigation team continues to search to obtain the correct data," he said. The alleged incident has cast a fresh spotlight on longtime grievances among locals about Indonesian government forces using excessive force and engaging in racist actions against indigenous people in mainly Melanesian Papua. The militarized region in Indonesia's far-east is home to a separatist insurgency that has simmered for decades. The body of Makilon, who was the son of a village chief, was cremated on Feb. 24, according to local customs, said a resident who requested to be identified only by the initials "Y.K." for security reasons. No autopsy had been conducted. Y.K., a teacher, said a soldier tasked with guarding a military post in Sinak lost his gun on Feb. 20 and immediately suspected that children who were watching television at the post earlier in the day had taken it. "A joint military and police team arrested seven elementary school-aged children," Y.K. told BenarNews. A Papuan human rights activist, Okto Tabuni, said Makilon was dead on arrival when he was rushed to a community clinic in Sinak on the night of Feb. 22. Okto also said that he did not know details about Makilon's injuries. But he said that under a local custom, cremation is usually performed for people who die of unnatural causes. "Culturally, it is a form of protest to the authorities," he told BenarNews. After Makilon's death, the other six children were transferred from a police detention center to a hospital to be treated for their injuries, the source Y.K. said. When asked about Makilon's death, Papua police spokesman Sr. Comr. Ahmad Musthofa Kamal replied: "I need to emphasize that the police are not involved." He declined to comment further. Calls from rights groups mount Usman Hamid, executive director of Amnesty International in Indonesia, said the alleged assault that led to the boy's death could not be justified, as he called for an independent investigation. "We would like to remind [authorities] that civilians, especially children, must not be made victims of abuse, let alone be killed in an armed conflict," Usman told BenarNews. Usman said allegations of torture by security forces must be investigated thoroughly and independently to ensure that such cases do not happen again. "For the sake of justice, those responsible for this tragedy must be made to account," Usman said. Fatia Maulidiyanti, coordinator for the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), also called for an impartial investigation. "It must be uncovered with an investigation involving other parties such as the National Commission on Human Rights and the Indonesian Child Protection Commission," Fatia said. Okto echoed Fatia's calls. "This is not the first case of children dying because of the military in Papua. So, other parties must be involved in the investigation, so that it does not set a bad precedent in the future," Okto said. Two children were shot, one of them fatally, during a gun battle between security forces and rebels in Intan Jaya Regency in October 2021. In Jakarta, a deputy of the Presidential Chief of Staff, Jaleswari Pramodhawardani, could not be reached immediately for comment. On Monday, United Nations human rights experts expressed serious concern about what they called the "deteriorating human rights situation" in the Papua and West Papua, provinces, citing "shocking abuses" against indigenous Papuans. These abuses, they said, included child killings, disappearances, torture and mass displacement of people. "Between April and November 2021, we have received allegations indicating several instances of extrajudicial killings, including of young children, enforced disappearance, torture and inhuman treatment and the forced displacement of at least 5,000 indigenous Papuans by security forces," the experts said, according to a statement issued by the Office of the High Commissioner for Human Rights. They said estimates put the overall number of displaced, since the escalation of violence in December 2018, at between 60,000 to 100,000 people. Violence and tensions in the Papua region, which is made up of the provinces of Papua and West Papua, have become more intense in recent years after separatist rebels killed 19 workers who were building a bridge in Nduga regency in late 2018, accusing them of being government spies. In 2019, more than 40 people were killed in violent unrest across the Papuan region after police raided a dorm in Surabaya and arrested dozens of Papuan students amid allegations they had disrespected the Indonesian flag. Video was circulated of the armed police using racial slurs against the students. Meanwhile, provincial military garrison spokesman Col. Aqsha said authorities had arrested a teacher, who authorities identified only as D.M., for leaking photos of Makilon's cremation that later were posted on social media accompanied with text deemed to be "fake news." Aqsha did not elaborate on why the text was considered to be false. "The suspect, D.M., admitted that he was the one who sent the photo of Makilon Tabuni's cremation to the the WhatsApp group of Puncak Students' Association," Aqsha said. Aqsha added that D.M. admitted that he sent the photos to the WhatsApp group but denied posting them on social media or writing the text. Under the law, distributing fake news online is punishable by six years. Last year, the government designated separatist rebels as terrorists after insurgents ambushed and assassinated an army general who headed the regional branch of the National Intelligence Agency. The killing prompted President Joko "Jokowi" Widodo to order a crackdown. In 1963, Indonesian forces invaded Papua – like Indonesia, a former Dutch colony – and annexed the region that makes up the western half of New Guinea Island. Papua was incorporated into Indonesia in 1969 after a U.N.-sponsored vote, which locals and activists said was a sham because it involved only about 1,000 people. However, the United Nations accepted the result, which essentially endorsed Jakarta's rule. The Free Papua Movement (OPM) has fought for independence for the mainly Christian region since the 1960s.(Victor Mambor/ Arie Firdaus| BenarNews) | ||
Amerika Serikat Pasok Amunisi Stringer dan Javelin ke Untuk Perang Rusia - Ukraina Posted: 02 Mar 2022 03:03 AM PST
KIEV, LELEMUKU.COM - Militer Ukraina menyatakan pihaknya akan mendapatkan pasokan amunisi sistem pertahanan udara - Stinger dan amunisi roket anti-tank Javelins. Hal itu diungkapkan dalam rilis media di grup telegram militer Ukraina dengan meminta AS untuk mengirim lebih banyak pasokan amunisi senjata besar tersebut. "Kiev kehabisan rudal anti-pesawat Stinger dan rudal anti-tank Javelin," kata Duta besar Ukraina untuk Amerika Serikat, Oksana Serhiyivna Markarova. Dikatakan permintaan resmi ini guna menambah kekuatan militer dan milisi sipil Ukraina yang sedang menghadapi operasi militer Rusia. "Kami bekerja secara aktif dengan pemerintah, presiden, dan juga dengan Kongres untuk mendapatkan lebih banyak senjata, jadi kami membutuhkan lebih banyak senjata," Oksana Markarova menekankan. Washington dilaporkan telah setuju untuk mengirim lebih banyak pasokan melalui sekutu NATO di wilayah Eropa Timur. (Albert Batlayeri) | ||
ASEAN Response to Ukraine Crisis a Show of 'Diplomatic Cowardice' Posted: 02 Mar 2022 02:50 AM PST The crisis in Ukraine has exposed how the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) – once again – is divided as it fails to confront a pressing security challenge head on and through a forceful and unified voice. Already riddled with divisions over Chinese aggression in the South China Sea, the damming of the Mekong, the ethnic cleansing of the Rohingya, and the 2021 coup d'êtat in Myanmar, ASEAN, through its toothless response to the Russian invasion, yet again is proving inept in collectively addressing a security issue with potential implications for Southeast Asia. One would think that with the exception of Myanmar, whose junta totally relies on Moscow for arms and diplomatic support, that Southeast Asian condemnation of Russia would not be so fraught. At the member-state level, the responses to Ukraine have ranged from Myanmar's unabashed endorsement of the invasion to more tepid ones from other ASEAN states, and to remarkably forceful ones issued by the city-state of Singapore. The response from Myanmar was beyond the pale, with the ruling generals stating that "Russia's invasion is an appropriate measure to preserve its sovereignty." In failing to condemn Russia's invasion of Ukraine, most Southeast Asian states are acting in a way that ignores their long-term security interests – and, for the most part, out of sheer diplomatic timidity. The stakes Southeast Asia is comprised of small and medium-sized states who rely on international law, the doctrine of sovereign equality and the principles on the United Nations that forbid the use of force to alter borders or interfere in the domestic politics of another sovereign state. Russia's actions and justification for war have set a very dangerous precedent. That's pretty cut and dry. And yet, the ASEAN states have largely equivocated, each for its own reason. Singapore has been far ahead of the rest of its partners in the bloc. It immediately condemned Russia's attack on Ukraine. The Lion City has since announced a swath of sanctions, including banking, SWIFT correspondence, the freeze on high-tech exports and travel bans. It remains to be seen if Singapore's sovereign wealth funds will follow the lead of Norway and divest themselves of Russian assets. Singaporean Foreign Minister Vivian Balakrishnan has made clear what's really at stake in the crisis on the other side of the globe. "We cannot accept one country attacking another without justification, arguing that its independence was the result of 'historical errors and crazy decisions' … Unless we as a country stand up for principles that are the very foundations for the independence and sovereignty of smaller nations, our own right to exist and prosper as a nation may similarly be called into question," he said. Brunei and the Philippines belatedly condemned the attack. Indonesia has done so in its own way without assigning blame to Russia, and making clear that it would not impose any sanctions on Moscow. A joint statement put out by the ASEAN foreign ministers on Feb. 28 made no mention of Russia's invasion of a sovereign state, let alone its targeting of civilians and effort to capture Ukraine's main cities. The statement called on both sides to "exercise maximum restraint," ignoring that one side was fighting for its very existence as a sovereign state. As with the coup in Myanmar, many governments in Southeast Asia expected the invasion of Ukraine to be over in a blink, too fast for them to be forced to make a stand. But that hasn't happened. President Vladimir Putin planned a blitzkrieg attack, the quick encirclement of cities and an immediate Ukrainian government surrender. The Russians never expected the Ukrainians to put up such stiff resistance or the international community to be galvanized in norm-shattering ways. While the Ukrainians have fared relatively well in the opening days of the war, the Russians have been changing their tactics: they are moving more deliberately and their supply lines are tighter. They're aware that the losses suffered thus far are unsustainable. More importantly, Russian forces and mercenaries are now targeting residential areas and other non-military targets in a much more systematic way, including government buildings, hospitals, and communications centers, according to news reports. Air power, which Moscow barely resorted to in the early days of the invasion, is being used more and more as the Russians deplete their supply of precision-guided munitions. The Russians are now using gravity bombs, cluster munitions and thermobaric bombs, greatly increasing the likelihood of civilian casualties. Putin has no shortage of men and equipment that he will throw at Ukraine to install a neutralized vassal state. Body bags returning home do not particularly affect him. This is going to be a long drawn-out conflict. China's response Of course, all of this has a bearing on China. Beijing continues to back Moscow, despite some apparent misgivings as the war threatens to be a bloody affair, and one that is roiling international energy markets. Beijing agrees that Ukraine is a sovereign state, but it also agrees that the European country has limited sovereignty because of choices it has made and Russia's "legitimate security concerns." Beijing has clearly betrayed its oft-stated commitment to the inviolability of state sovereignty, something that all countries in Southeast Asia should note. Through speaking out of both sides of its mouth and through its actions, China has thoroughly embraced Russia's doctrine of limited sovereignty. China also blames the war on Washington and Brussels with their "Cold War mentality." It has promised to maintain normal trade with Russia and will not support international sanctions on Moscow. With Russia being forced out of the SWIFT financial network, Russia will become more dependent on the Chinese-run alternative, the Cross-Border Interbank Payment System, though it will force Russia to rapidly increase the amount of Chinese yuan that it uses in trade. The liberal international order The countries in Southeast Asia, meanwhile, must be prepared for a conflict in Ukraine that will last years. They need to understand that Russia is willing to raze entire cities so President Vladimir Putin does not have to humiliatingly seek a negotiated settlement. States have to be sober in their assessment that, having entered this conflict with maximalist aims, there is no off-ramp for Putin, who is far more likely to escalate the conflict than accept defeat. Which is why Southeast Asia's equivocation is so baffling. The international response to Russia's illegal invasion should remind everyone why President Vladimir Putin hated and feared the liberal international order so much, and reinforce why it is in the interest of Southeast Asian states to begin to act in ways that support their long-term security.
| ||
TNI Lakukan Penyelidikan Kematian Makilon Tabuni, Siswa Puncak Dituduh Mencuri Senjata Posted: 01 Mar 2022 06:34 PM PST
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih melakukan penyelidikan terhadap tewasnya seorang anak laki-laki di Papua yang diduga dianiaya oleh tentara usai dituduh mencuri senjata seorang prajurit, kata komandan militer setempat Selasa (1/3/2021). Makilon Tabuni, 12, seorang siswa SD Inpres Sinak, meninggal dunia pada 22 Februari setelah ditangkap dua hari sebelumnya karena dituduh bersama temannya mengambil sepucuk senjata milik seorang anggota TNI di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, kata warga setempat dan kelompok hak asasi manusia. Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih yang membawahi wilayah Papua menyatakan investigasi mendalam sedang dilakukan. "Tim investigasi telah berada di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak dan telah meninjau Posko Bandara Sinak, tempat kejadian perkara, dimana merupakan tempat hilangnya senjata api dan lokasi dugaan penganiayaan," kata Kolonel Inf. Aqsha Erlangga, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) Cendrawasih. "Tim investigasi juga telah memeriksa sejumlah prajurit TNI yang diduga mengetahui dan berkaitan langsung dengan kejadian hilangnya senjata… dengan mengedepankan praduga tidak bersalah." "Saya harap masyarakat dapat bersabar, karena tim investigasi terus melakukan penelusuran untuk memperoleh data yang benar," kata Kolonel Inf. Aqsha Erlangga. Hal senada disampaikan juga oleh Wakapendam Letnan Kolonel Inf. Chandra Kurniawan yang mengatakan bahwa TNI baru akan membuka perkara setelah investigasi tuntas. Jenazah Makilon, yang merupakan anak Kepala Kampung Kelemame, dikremasi di depan Polsek Sinak pada tanggal 24 Februari dan diperabukan sebagaimana adat istiadat setempat, kata pegiat hak asasi manusia di Papua, Okto Tabuni. Okto mengatakan dia tak dapat memastikan di mana Makilon meninggal. Ia hanya mengatakan bahwa Makilon sudah meninggal dunia saat sampai di Puskesmas Sinak pada 22 Februari malam. "Sempat diupayakan membawa (Makilon) ke Puskesmas Sinak, tapi sudah meninggal saat sampai di sana," ujar Okto kepada BenarNews. Okto pun mengatakan dia tidak tahu detail mengenai luka Makilon, karena jenazah sudah terlanjur dikremasi keluarga di depan markas kepolisian keesokan paginya. Menurut Okto, pembakaran jenazah jamak dilakukan masyarakat di kawasan Puncak Papua jika ada kerabat atau saudara yang meninggal secara tidak wajar. "Secara budaya, itu adalah bentuk protes mereka kepada aparat," terang Okto. Okto mengatakan jaringan internet dan selular di Sinak mati sejak 23 Februari. "Setelah berita itu ramai di media sosial, jaringan mati sampai saat ini," lanjutnya. Juru bicara Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal ketika ditanya terkait kasus kematian mengatakan, "Saya perlu tegaskan polisi tidak terlibat." Dia menolak berkomentar lebih lanjut. Seorang warga yang hanya mau disebutkan dengan inisial YK, karena alasan keamanan, mengatakan dua orang anak diduga mengambil satu pucuk senjata milik anggota TNI bernama Prada Kristian Sandi Alviando di Pos PT. Modern, di sekitar Bandara Tapulinik Sinak. Kristian sedang menonton televisi setelah menjalankan tugas patrol pengamanan bandara saat mengetahui bahwa senjata miliknya hilang. Kristian bersama anggota tim lainnya menduga anak-anak yang sebelumnya menonton TV di Pos PT. Modern yang mengambil senjatanya dan mencari mereka, persisnya di sekitar tiga gereja yaitu GKII Kelemame, Gereja GKII Kumisila, dan GKII Mogolu di sekitar Kampung Kelemame. "Dalam pengejaran itu aparat gabungan TNI dan Polri menangkap tujuh orang anak-anak usia SD," kata YK kepada BenarNews. YK mengatakan setelah jenazah Makilon diperabukan, masyarakat setempat minta agar enam orang yang masih ditahan itu dikeluarkan agar bisa diobati di rumah sakit. Akhirnya keenam anak yang ditahan di Polsek Sinak itu dikeluarkan dan dirawat di rumah sakit. TNI sempat menyangkal Setelah dugaan penganiayaan yang berujung kematian itu ramai di media sosial, TNI sempat menyangkal dengan menyatakan bahwa isu tersebut adalah kabar bohong. Kapendam Cenderawasih Kol. Aqsha mengatakan akhir pekan lalu bahwa petugas juga telah menangkap seorang guru dengan inisial DM yang menyebarkan foto pembakaran jenazah Makilon sehingga viral di media sosial yang dalam sejumlah posting dilabeli sebagai "hoaks" atau berita bohong. "Pelaku DM telah mengakui bahwa dirinya merupakan orang yang mengirimkan foto pembakaran jenazah Makilon Tabuni ke grup Whatsapp KMPP (Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Puncak)," kata Aqsha, menambahkan bahwa DM mengatakan bukan dirinya yang menyebarkan foto itu di sosial media. Aqsha tidak menjelaskan kenapa postingan foto tersebut diklaim oleh TNI sebagai berita bohong. "Aparat Keamanan yang dirugikan telah melaporkan DM atas pemberitaan yang melanggar UU, kemudian DM akan diproses hukum oleh pihak yang berwenang terkait pelanggaran UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang dilakukannya sendiri," ujarnya. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti saat dihubungi mengatakan, TNI semestinya tidak buru-buru melabeli berita kematian Makilon sebagai hoaks. "Harus dibuktikan lewat investigasi yang melibatkan pihak lain seperti Komnas HAM dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), agar terukur dan transparan jika ada dugaan pelanggaran," ujar Fatia. "Tidak seharusnya dianiaya" Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan apapun alasan yang dituduhkan kepada Makilon, ia tidak seharusnya dianiaya. "Kami juga mengingatkan, warga sipil, apalagi anak-anak, tidak boleh menjadi korban hingga terluka, apalagi meninggal dunia dalam wilayah konflik bersenjata," kata Usman. Lanjut Usman, dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap korban harus segera diinvestigasi secara menyeluruh, independen, transparan, dan tidak berpihak. "Demi keadilan, negara harus memastikan siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ini," tegas Usman. Usman menegaskan kasus Makilon bukan pertama kalinya seorang anak menjadi korban pembunuhan di luar hukum. Okto juga mengatakan hal senada. "Ini kan bukan kasus pertama anak-anak meninggal akibat pengerahan militer di Papua. Maka, pelibatan pihak lain dalam investigasi harus dilakukan agar tidak menjadi preseden buruk ke depannya," kata Okto, seraya menambahkan seorang siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) juga tewas usai terkena peluru nyasar saat kontak tembak di Kabupaten Puncak pada Juli 2020. Dua orang bocah juga terkena tembakan --satu di antaranya meninggal dunia, saat kontak tembak antara aparat keamanan dan kelompok separatis pada Oktober 2021 di Kabupaten Intan Jaya. Mengenai desakan pegiat HAM yang meminta investigasi, BenarNews menghubungi Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, namun sampai saat ini belum beroleh tanggapan. PBB: Situasi HAM memburuk di Papua Senin, para pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan keprihatinan serius tentang apa yang mereka sebut "situasi hak asasi manusia yang memburuk" di provinsi Papua dan Papua Barat, mengutip "pelanggaran yang tidak terkira" terhadap penduduk asli Papua. "Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pengusiran paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan," kata para pakar tersebut dalam statemen yang dikeluarkan oleh Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR). Mereka mengatakan sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, jumlah penduduk yang harus mengungsi diperkirakan antara 60.000 hingga 100.000 orang. Konflik separatism telah berlangsung di Papua sejak tahun 1960an. Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969, namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang. Pada 2003, Papua dibagi menjadi dua provinsi – Papua dan Papua Barat. Kekerasan di Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan korban tewas dari pihak aparat keamanan, kelompok separatis dan rakyat sipil serta ribuan warga terpaksa mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri. (Victor Mambor/Arie Firdaus|BeritaBenar) | ||
Jokowi Berdialog dengan Talenta Muda Indonesia pada Bidang Digital di Luar Negeri Posted: 01 Mar 2022 06:17 PM PST
JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Saat meresmikan Sea Labs Indonesia di Gedung Pacific Century Place, SCBD, Jakarta, pada Selasa, 1 Maret 2022, Presiden Joko Widodo berdialog secara virtual melalui konferensi video dengan para talenta muda Indonesia yang berkiprah di bidang digital di luar negeri. |
You are subscribed to email updates from #Lelemuku. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Social Plugin