Type Here to Get Search Results !

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan


Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 05:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 05:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 05:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 05:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 05:02 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 05:02 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:58 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:58 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:58 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:55 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:54 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa Kebencanaan

Posted: 07 Feb 2019 04:54 PM PST

Sejumlah Kelompok Masyarakat Dorong Adanya Perlindungan Anak Masa KebencanaanJAKARTA, LELEMUKU.COM - Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.

Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsiumJarim for Indonesiayang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.

"Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak," kata Yuliati Umrah, kepada VOA.

Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.

"Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang," terang Edward Dewaruci.

 Pedoman Kebijakan Saat Bencana

Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.

"Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harusaware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan," papar Pinky Saptandari.

Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.

"Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat," imbuh Yuliati.

Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.

Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.

"Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja," ungkap Fauzan. (VOA)

Madonna Terima “Advocate for Change Award” di GLAAD 2019

Posted: 07 Feb 2019 04:38 PM PST

Madonna Terima WASHINGTON, LELEMUKU.COM - GLAAD, organisasi advokasi media untuk LGBTQ terbesar di dunia, hari Selasa (5/2) mengumumkan akan memberikan anugerah "Advocate for Change Award" tahun 2019 ini kepada bintang musik pop Madonna.

Siaran pers GLAAD menyatakan alasan mereka memilih Madonna karena komitmen musisi berusia 60 tahun itu untuk meningkatkan kesadaran tentang krisis HIV/AIDS, khususnya ketika ia menyebarluaskan leaflet "Fakta tentang AIDS" di dalam album "Like A Prayer" tahun 1989 lalu, tampil di berbagai konser amal AIDS, melangsungkan dansa-maraton untuk mengumpulkan dana, dan menuntut tindakan ketika tidak banyak politisi dan tokoh lain yang menunjukkan perhatian serius pada wabah HIV.

Kelompok GLAAD juga menyebut kesediaan Madonna untuk berbicara lantang terhadap kebijakan dan praktik anti-LGBTQ di seluruh dunia, khususnya di Amerika, Romania, Malawi dan Rusia; sebagai alasan memilih bintang itu.

Setelah meluncurkan album terakhirnya "Rebel Heart" tahun 2015, Madonna telah mengadakan konser keliling dunia – termasuk konser di Miami tahun 2016 yang berlangsung lebih sederhana namun intim – dan membawakan lagu terbarunya di 2018 Met Gala. Ia juga memperluas perusahaan perawatan kulitnya MDNA dan ikut menyutradarai film drama "Taking Flight" yang memotret kehidupan ballerina Sierra Leone, Michaela DePrince.

Musisi kelahiran Michigan itu kini sedang mempersiapkan album ke-14, yang dijadwalkan akan dirilis akhir tahun nanti.

Anugerah "Advocate for Change Award" akan diberikan kepada Madonna dalam acara GLAAD Media Awards 2019 pada 4 Mei mendatang di New York. (VOA)

25 Advokat Muda Handal Dilahirkan, Peradi Ambon Komitmen Bekerja Keras

Posted: 07 Feb 2019 03:19 PM PST

25 Advokat Muda Handal Dilahirkan, Peradi Ambon Komitmen Bekerja KerasAMBON, LELEMUKU.COM - Sebanyak 25 Advokat muda Maluku lulus Ujian Provesi Advokat (UPA) awal tahun ini. Dari angka kelulusan yang signifikan itu, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Ambon berkomitmen melahirkan advokat-advokat handal di Provinsi Maluku.

Ketua DPC Peradi Ambon, Fahri Bachmid menyatakan, pada prinsipnya selaku Ketua DPC pihaknya senantiasa akan bekerja keras setiap saat.

"Kami akan mengambil langkah-langkah secara organisatoris untuk mendorong agar angka kelulusan calon calon Advokat dari wilayah maluku naik signifikan," ungkapnya, Kamis (07/02).

Dikatakan, kiranya dengan mendorong lahirnya calon-calon advokat yang handal di  Maluku dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat atau pencari keadilan.

Kepada media ini, Bachmid mengakui, telah dikeluarkannya Surat Keputusan tertanggal 6 Februari 2019 perihal penetapan kelulusan calon advokat dalam ujian profesi advokat gelombang ke 2 pada akhir 2018 lalu.

"Sebanyak 25 Putra-putri terbaik Maluku yang dinyatakan lolos dalam ujian profesi yang dilaksanakan 2018 lalu," akuinya.

Berikut nama nama Advokat yang lolos dalam UPA gelombang II dengan dalam lampiran surat keputusan panitia ujian profesi advokat tahun 2018 Nomor: kep.003/pupa-peradi/ii/2019 :

Abdul Muis, Ali Wijaya, Farah Fahmi, Frangky Kaary, Frimilia Seipattiratu, Giovani Anggasta Pratiwi Lambouw,Hendra , La Junaidi, Mahlum Jaenudin, Malik Raudi Tuasamu, Moh. Yamin, Muhamad Gurium, Nuny Zahra, Pani Letehiit, Ramudi, Rasyid, Rezky Pratama Masuku, Ridwan Muhammad Sedek Rolobessy, Rifal Kau,  Rijcard G. Kamelane, Sayuti Syahrier Tianotak, Siti Zainab Yanlua, Thomsio La, Wahab Mangar, Zulkarnain Rehalat.

Dijelaskan, kelulusan ini merupakan hasil terbaik dan murni atas dasar seleksi yang cukup ketat melalui tahapan tahapan pendidikan dan pelatihan profesi,sesuai standar nasional kurikulum yang telah ditetapkan oleh DPN Peradi.

Dalam hal rekrutmen calon advokat ini, kata Bachmid, Peradi menerapkan prinsip "zero KKN" sehingga betul betul dituntut kemampuan dan kapasitas akademik ilmu hukum dari calon peserta itu sendiri.

"Kami ucapkan selamat kepada rekan-rekan calon advokat yang telah dinyatakan lulus, dan serta bagi rekan rekan yang belum sempat berkesempatan lulus ujian UPA Gelombang Kedua Tahun 2018 kemarin, maka kami akan perjuangkan dan ikutkan nanti dalam UPA Tahun 2019 berikutnya," pungkas Bachmid. (CengkePala)

Sandiaga Uno Salam Balik Susi Pudjiastuti dari Telaga Sarangan

Posted: 07 Feb 2019 03:16 PM PST

Sandiaga Uno Salam Balik Susi Pudjiastuti dari Telaga SaranganMAGETAN, LELEMUKU.COM - Sandiaga Salahuddin  Uno memberikan salam balik pada Menteri Kelautan dan Perikanan  Susi Pudjiastuti dari Telaga Sarangan.

"Bu Susi, ini salam balik saya dari Lake Sarangan atau Telaga Sarangan, keindahan dan kebersihannya nggak kalah dengan Lake Geneve, nanti kita tingkatkan lagi pelayanan dan penataannya, paling  nggak sama dengan Lake Geneve," ucap Sandi setelah berlari dua putaran sejauh  lima kilometer mengelilingi Telaga Sarangan, Magetan Jawa Timur, Rabu (6/2).

Perbincangan ini dimulai dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di penghujung tahun 2017 lalu. Menteri Susi memuji danau di Geneva dan mengatakan bahwa Danau Sunter bisa ditata sebagus dan seindah danau Geneve.

Menteri Susi kemudian menantang Sandi yang ketika itu menjadi Wakil Gubernur dan Anies Bawesdan sebagai Gubernur DKI untuk mengubah "wajah" Danau Sunter menjadi seperti Danau Geneve. Waktu itu sandi menjawab jangan bandingkan Sunter dengan dengan Lake Geneve yang begitu besar hampir sebesar danau toba. Walaupun Sandi  sempat menerima tantangan itu.

Menurut calon wakil presiden nomor urut 02 ini, pesona alam Indonesia luar biasa. Berlari  mengelilingi Telaga Sarangan, sebuah pengalaman yang tidak bakal dilupakannya, udaranya dingin, dikelilingi perbukitan menghijau dan kabut yang sesekali turun menyaputi pegunungan.

"Nggak usah Lake Geneve, datang saja ke telaga sarangan untuk menghidupi pariwisata kita, menghidupi UMKM yang berada   di sekitar telaga ini. Lihat saja keindahannya,bisa dinikmati  dengan duduk melihat  alunan air tertiup angin, berlari mengelilinginya , makan dengan pemandangan menakjubkan atau naik boat mengelilingi danau. Ini  yang medatangkan banyak wisatawan dan menggerakkan perekonomian dan menyerap lapangan kerja," ujarnya.

Usai berlari Sandi berdialog dengan petani di Desa Singolangu, Kec. Plaosan, Magetan, Jatim. (BPN)

Energy World Corporation Bukan Konsultan Blok Masela

Posted: 07 Feb 2019 03:16 PM PST

JAKARTA, LELEMUKU.COM - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memastikan Energy World Corporation Limited bukan konsultan Blok Masela. Mereka hanya dimintai data mengenai proyek gas alam cair (LNG) sebagai perbandingan.

Menurut Arcandra tidak ada penunjukan Energy World untuk menjadi konsultan proyek Lapangan Abadi yang berada di Laut Arafura tersebut. "Siapa yang menunjuk dia. Tidak ada," ujar dia di Jakarta, Kamis (7/2).

Yang terjadi sesungguhnya adalah Kementerian ESDM meminta masukan dan tanggapan dari Energy World selaku kontraktor yang juga membuat proyek gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Mereka membangun proyek LNG Sengkang di Sulawesi Selatan.

Dengan pertimbangan pengalaman itu, Arcandra ingin mengetahui secara pasti nilai dan biaya membangun proyek LNG. "Dia juga punya data-data di Amerika  Serikat dan dimana-mana. Kami tanya berapa cost-nya, boleh kan," ujar dia.

Mengacu website resminya, EWC memang memiliki beberapa proyek di Filipina, Indonesia dan Australia. Di Indonesia, Energy World memiliki kilang LNG berkapasitas 2 mtpa.

Selain itu ada Blok Sengkang yang baru mendapat perpanjangan 20 tahun terhitung 24 Oktober 2022 nanti. Produksi Blok Sengkang saat ini hanya 33 MMscfd, di bawah target 2018 yang bisa 42,25 MMscfd. Gas tersebut dipasok ke pembangkit miliknya berkapasitas 135 Megawatt.

Sementara itu, Blok Masela hingga kini belum juga berproduksi. Proyek Strategis Nasional ini masih dalam tahap penyusunan proposal pengembangan (Plan of Development/PoD), setelah merampungkan kajian desain awal (Pre-FEED) Oktober 2018 lalu.

PoD Blok Masela sebenarnya telah disetujui pemerintah pada Desember 2010, yaitu 12 tahun setelah kontrak pengelolaan blok tersebut diperoleh Inpex Masela tahun 1998. Dalam PoD itu, Blok Masela dijadwalkan mulai berproduksi (on stream) tahun 2018 dengan volume produksi 355 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD) dan produksi kondensat sebanyak 8.400 barel per hari (bph).

Namun belakangan proyek Masela diubah menjadi skema darat setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan konsep proyek anyar itu pada maret 2016. Keputusan ini berbeda dengan usulan Inpex yang menginginkan skema pengolahan di laut (FLNG). Alhasil Inpex mengubah lagi skema proyek tersebut.

Dengan skema darat, pemerintah menaksir proyek Masela baru bisa beroperasi 2027. Namun belakangan Dwi Soetjipto usai dilantik menjadi Kepala SKK Migas beberapa waktu lalu menargetkan proyek ini bisa beroperasi lebih cepat yakni 2025. (KataData)

Jonias Makaweru Tewas Mengenaskan Dimangsa Buaya di Muara Kali Ruata

Posted: 07 Feb 2019 03:02 PM PST

Jonias Makaweru Tewas Mengenaskan Dimangsa Buaya di Muara Kali RuataMASOHI, LELEMUKU.COM - Jonias Makaweru (37) alias Ojon, warga Kompleks SMK Negeri 1 Amahai Negeri Makariki, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku ditemukan tewas mengenaskan pada Kamis (7/2) sekitar pukul 12.00 WIT di muara Kali Ruata, Negeri Makariki.

Menurut informasi yang diterima Lelemuku.com, korban diduga meninggal karena dimangsa buaya. Karena menurut Pemerintah Negeri Makariki, di muara kali Ruata banyak terdapat buaya.

Peristiwa ini berawal pada Rabu (6/2) sekitar pukul 20.00 WIT ketika korban memberitahu istrinya, Petrosina Hekilawa (29) yang pergi keluar dari rumahnya dengan tujuan ke Muara Kali Ruata untuk membuang jalan penangkap ikan.

Petrosina menyatakan bahwa korban biasanya pergi membuang jala penangkap ikan paling lama 2 (dua) sampai 3 (tiga) jam. Setelah selesai membuang jala, korban biasanya kembali kerumah.

Namun sampai dengan keesokan harinya pada hari Kamis, korban tak kunjung pulang ke rumah. Istri korban sudah berusaha untuk mencari korban ditempat penangkapan ikan namun tidak menemukan korban.

Selanjutnya sekitar pukul 10.00 WIT, Petrosina melaporkan ke Pemerintah Negeri Makariki bahwa suaminya belum pulang kerumah dari kegiatan melakukan penangkapan ikan dengan membuang jala ikan.

Selanjutnya pihak Pemerintah Negeri bersama masyarakat untuk membantu mencari korban di tempat lokasi penangkapan ikan yang sering didatangi oleh korban.

Sekitar pukul 12.00 WIT, saksi bernama Renhard Titihalawa bersama Nikson Phillipus yang membantu melakukan pencarian korban menemukan potongan kaki yang diyakini merupakan jazad korban di pesisir muara sebelah kanan kali ruata

Kemudian kedua saksi menyampaikan kepada masyarakat lainnya yang sementara itu melakukan pencarian korban. Selanjutnya masyarakat setempat mengevakuasi potongan tubuh korban tersebut menuju ke rumah korban. (Albert Batlayeri)

Olly Dondokambey Apresiasi Forum Pemilu Damai 2019 di Sulut

Posted: 07 Feb 2019 02:13 PM PST

Olly Dondokambey Apresiasi Forum Pemilu Damai 2019 di SulutMANADO, LELEMUKU.COM - Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, SE menghadiri Forum Pemilu Damai 2019 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Utara di Hotel Sintesa Peninsula Manado, Kamis (7/2).

Seusai mengikuti kegiatan, dalam wawancara bersama  para jurnalis, Gubernur Olly memberikan apresiasi atas diselenggarakannya kegitan ini. Disamping itu juga, kegiatan ini dapat dijadikan wadah untuk mempertemukan semua stakeholders yang terlibat dalam pemilu.

"Moment ini Untuk mempertemukan semua peserta pemilu bersama dengan penyelenggara dan pengawas. Dan tentunya juga dengan pihak keamanan (polisi)," kata Gubernur.

Lebih lanjut lagi, Gubernur mengharapkan  kegiatan ini dapat dijadikan sebagai ajang untuk saling suport dan saling mengingatkan agar Pemilu dan Pilpres nanti bisa berjalan dengan aman.

"Ini satu hal yang sangat baik sehingga kita saling kenal, sehingga kalo ada masalah apa-apa bisa saling berkoordinasi secara cepat," lanjut Gubernur.

Hadir dalam acara tersebut, unsurForum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sulut dan pengurus partai peserta pemilu. (HumasSulut)

DIskominfoSP Sulawesi Selatan Ajak Warga Tak Sebarkan Berita Hoax

Posted: 07 Feb 2019 02:13 PM PST

DIskominfoSP Sulawesi Selatan Ajak Warga Tak Sebarkan Berita HoaxMAKASSAR, LELEMUKU.COM - Penyebaran informasi dimedia sosial terkait berita politik, yang terus meningkat Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) baik pemilihan presiden dan wakil presiden maupun Pemilihan Legislatif (Pileg), menjadi perhatian Dinas Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian (Kominfo SP) Sulsel.

Kepala Dinas Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian (Kominfo SP) Sulsel, Andi Hasdullah ditemui di Baruga Lounge Kantor Gubernur, Jumat (1/2) mengatakan, sejauh ini tensi penyebaran informasi di media sosial, dua kubu calon presiden terus meningkat hingga pada bulan April mendatang.

"Penyebaran informasi di medsos terkait pilpres dan pileg pasti akan terus meningkat hingga pada saat hari pencoblosan yaitu pada bulan April, sehingga edukasi terhadap para netizen harus terus dilakukan agar tidak mudah terpropokasi dan ikut menyebarkan berita Hoakx," kata Hasdullah.

Para netizen harus cerdas dan melakukan cek dan ricek sebelum menyebarkan informasi, agar apa yang disampaikan di medsos bisa bermamfaat bagi pembacanya," ujarnya.

"Sejauh ini para netizen sudah mulai paham cara bermedsos yang baik dan beretika, apalagi dengan menyaksikan adanya masyarakat yang harus berurusan dengan kepolisian karena melakukan atau menyebarkan berita hoakx," jelasnya.

Hasdullah lebih jauh menghimbau kepada seluruh masyarakat, khususnya para netizen untuk bijak dalam bermedsos dengan menghindari berita propokatif serta senantiasa menciptakan situasi yang kondusif jelang pilpres.

"Masyarakat dihimbau untuk selalu bijak dan menghindari berita propokatif dalam bermedsos serta senantiasa menghadirkan kesejukan," pungkas Hasdullah. (DiskominfoSPSulsel)

Nurdin Abdullah Beberkan Keberhasilan Umar Septono Pimpin Polda Sulsel

Posted: 07 Feb 2019 02:04 PM PST

Nurdin Abdullah Beberkan Keberhasilan Umar Septono Pimpin Polda SulselMAKASSAR, LELEMUKU.COM - Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), HM Nurdin Abdullah, membeberkan keberhasilan Irjen Pol Drs. Umar Septono semasa menjabat Kapolda Sulsel. Salah satu keberhasilannya, yaitu Umar Saptono telah mengantarkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel yang lalu menjadi pemilu yang damai. Hal ini diungkapkan Nurdin Abdullah, saat acara perpisahan Kapolda Sulsel, di Hotel Claro Makassar, Jumat (1/2) malam.

Selama lima bulan bersama dengan Irjen Pol Drs Umar Septono, Nurdin Abdullah merasakan hal yang sangat tulus dilakukan oleh mantan Kapolda NTB itu. Apalagi, seluruh langkahnya mengunakan pendekatan pada agama, dan bekerja dengan hati.

"Saya kira inilah yang membawa Sulsel menjadi provinsi yang baik. Terimakasih kepada Irjen Pol Drs Umar Septono yang telah mengubah stigma Sulsel yang tadinya kita dikenal dengan daerah yang keras, sedikit-sedikit demo, Alhamdulillah Pilkada kemarin Sulsel memang menjadi salah satu kekhawatiran, dan Pilkada kemarin dikatakan masuk zona merah. Namun ternyata pelaksanaannya berjalan aman, damai dan tertib. Sulsel sudah masuk pada zona hijau. Saya kira ini adalah sebuah kepemimpinan yang patut kita teladani," ungkap Nurdin.

Nurdin Abdullah menambahkan, apa yang disampaikan Umar Septono bukan sesuatu yang dibuat-buat, tapi memang bekerja dengan hati dan sangat care. 

"Saya yakin selama beberapa bulan terakhir kita merasakan betul sebuah daerah yang tenang, kita tidak mendengarkan lagi ada begal, ada demo dan anarkis. Saya berdoa agar kondisi ini terus terjaga sehingga dunia usaha bisa diajalan dengan kondusif, saya yakin itu," ujarnya.

Kepada pengganti Umar Septono, Irjen Pol Drs. Hamidin, Nurdin Abdullah atas nama Pemerintah Sulsel mengucapkan selamat datang dan selamat bergabung bersama Forkopimda Sulsel.

"Semoga Bapak Hamidin menjadi panutan bagi kita semua. Kami berharap dibawah kepemimpinan Pak Hamidin yang tidak perlu belajar tentang kondisi dan situasi Sulsel, beliau sudah memiliki pengalaman menjadi Kapolres di tiga daerah (Bantaeng, Gowa dan Pinrang)," kata Nurdin Abdullah.

Nurdin juga menitipkan doa dan harapan besar kepada Kapolda Sulsel yang terhitung baru berjalan satu minggu memimpin Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel.

"Mudah-mudahan Pileg dan Pilpres kita bisa jalan dengan baik, sehingga Sulsel bisa lebih baik. Harapan kita adalah ingin menciptakan Sulsel yang lebih baik lagi. Saya berharap sinergi yang telah kita bangun selama ini, bisa kita lanjutkan," pungkasnya. (DiskominfoSandiSulsel)

Nurdin Abdullah Hadiri Rakor Serap Gabah / Beras Petani Sulawesi Selatan

Posted: 07 Feb 2019 09:49 AM PST

Nurdin Abdullah Hadiri Rakor Serap Gabah / Beras Petani Sulawesi SelatanMAKASSAR, LELEMUKU.COM - Gubernur Sulawesi Selatan (SulseL), HM Nurdin Abdullah menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Serap Gabah/Beras Petani (Sergap) Sulawesi Selatan dan Barat di Baruga Lappo Ase, Makassar, Kamis (7/2). Posisi Sulsel strategis sebagi penyuplai pangan ke daerah lain.

Direktur Pengadaan Perum BULOG, Mayjen TNI (Purn) Dr. Bachtiar, menyampaikan Sulsel mendukung ketahanan pangan.

"Bulog mempunyai peran mewujudkan ketahanan pangan dan Sulsel lumbung beras yang diandalkan di Indonesia. Kalau panen raya hasilnya bisa dua juta ton lebih," sebutnya.

Dia menambahkan, kebijakan Gubernur melalui Peraturan Gubernur (Pergub) bahwa minimal sepuluh persen (10%) dari total produksi padi pada wilayah kerja Provinsi Sulawesi Selatan untuk diserap oleh Perum BULOG.

Rencananya, panen pada bulan Januari-Maret di Sulsebar 1.065.327 ton, Januari 13.849 hektar, Februari 92.932 hektar dan Maret 106.284 hektar. Target Pengadaan Divre Sulselbar untuk Triwulan Pertama 2019 sebanyak 224.423 ton.

Sementara, Gubernur Sulsel, menyampaikan, beras menjadi tulang punggung kehidupan dan Sulsel penyangga pangan dan produksi beras lebih 6 juta ton.

"Kita memberikan makan di 27 provinsi di Indonesia. Kami ingin terus mendorong serapan Bulog lebih besar bukan hanya 10 atau 15 persen. Kuncinya kita sinergi," ungkap Nurdin Abdullah.

Pergub ini tidak berdiri sendiri tetapi juga melibatkan kepala daerah lainnya, agar sinergi dengan Dandim. Jadi, sosialisasi juga sangat penting.

Nurdin menyampaikan, di Sulsel masih memiliki potensi. Ada daerah yang belum dilirik adalah Luwu Raya. Tetapi orang Luwu Raya beli beras di Sidrap dan tantangan Bulog untuk membangun rice prosessing di Luwu Raya.

Tantangan yang ada saat ini petani kesulitan benih dan pupuk langkah, ini yang harus dibenahi, jika kebutuhan mereka bisa dipenuhi maka petani akan dapat diajak untuk bekerja sama.

"Untuk Sulsel juga akan melakukan upaya mengankan stok periode Februari-Mei ada 500 ribu hektar akan dipanen 1 juta ton" sebutnya.

Data Stok per 5 Februari 2019 dari Bulog Divre Sulselbar Beras medium 20 persen atau memiliki butir patah atau beras pecah (broken) maksimal 20 persen sebanyak 68.985.213 kg, beras komersial (15%) 2018 sebanyak 29.351.355 Kg, dan beras komerial (15%) 15.000 Kg.

Tujuan pengiriman ke NTT 48.000 Kg (premium 15% 2018), Kendari 2.000 ton (medium 20% 2018), Sulut 4.000 ton (medium 20% 2018). 200 ton (medium 15% 2018), Papua 26.500 ton (medium 20% 2018).

Untuk stok gula 19.531.790 kg, minyak goreng 35.132 liter, daging kerbau 87.875 kg, terigu 4.620 kg.

Pangdam XIV Hasanuddin Mayjen TNI Surawahadi, mengapresiasi sebagai wadah evaluasi sekaligus upaya khusus percepatan Sergap tahun 2019.

"Semoga forum ini kesepakatan agar mencapai target untuk wilayah Sulsel, Sulbar dan Sultra," harapnya.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi Hendriadi menyampaikan, ketahanan pangan hanya bisa tercapai jika pemerintah memiliki kekuatan.

"Saya selalu mendengar Sulsel aman karena cadangan beras kita lebih baik," ujarnya.

Pada kesempatan ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemprov Sulsel dan Bulog Divre Sulsebar tentang kedaulatan pangan, penguatan stok pangan dan penyediaan data dan informasi wilayah panen.

Hadir dalam kegiatan ini, Kepala Perum BULOG Divre Sulselbar Mansur, Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Tanaman Pangan dan Holtikultura Sulsel Fitriani, Waaster Kasdam XIV Hasanuddin Letkol Kav. Agus Waluyo, Waaster Kasdam XIV Hasanuddin Letkol Inf M. Akil, Tim Sergap Mabes TNI Kol. Bambang Supardi. (DiskominfoSandiSulsel)

Nurdin Abdullah Hadiri Rakor Serap Gabah / Beras Petani Sulawesi Selatan

Posted: 07 Feb 2019 09:42 AM PST

Nurdin Abdullah Hadiri Rakor Serap Gabah / Beras Petani Sulawesi SelatanMAKASSAR, LELEMUKU.COM - Gubernur Sulawesi Selatan (SulseL), HM Nurdin Abdullah menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Serap Gabah/Beras Petani (Sergap) Sulawesi Selatan dan Barat di Baruga Lappo Ase, Makassar, Kamis (7/2). Posisi Sulsel strategis sebagi penyuplai pangan ke daerah lain.

Direktur Pengadaan Perum BULOG, Mayjen TNI (Purn) Dr. Bachtiar, menyampaikan Sulsel mendukung ketahanan pangan.

"Bulog mempunyai peran mewujudkan ketahanan pangan dan Sulsel lumbung beras yang diandalkan di Indonesia. Kalau panen raya hasilnya bisa dua juta ton lebih," sebutnya.

Dia menambahkan, kebijakan Gubernur melalui Peraturan Gubernur (Pergub) bahwa minimal sepuluh persen (10%) dari total produksi padi pada wilayah kerja Provinsi Sulawesi Selatan untuk diserap oleh Perum BULOG.

Rencananya, panen pada bulan Januari-Maret di Sulsebar 1.065.327 ton, Januari 13.849 hektar, Februari 92.932 hektar dan Maret 106.284 hektar. Target Pengadaan Divre Sulselbar untuk Triwulan Pertama 2019 sebanyak 224.423 ton.

Sementara, Gubernur Sulsel, menyampaikan, beras menjadi tulang punggung kehidupan dan Sulsel penyangga pangan dan produksi beras lebih 6 juta ton.

"Kita memberikan makan di 27 provinsi di Indonesia. Kami ingin terus mendorong serapan Bulog lebih besar bukan hanya 10 atau 15 persen. Kuncinya kita sinergi," ungkap Nurdin Abdullah.

Pergub ini tidak berdiri sendiri tetapi juga melibatkan kepala daerah lainnya, agar sinergi dengan Dandim. Jadi, sosialisasi juga sangat penting.

Nurdin menyampaikan, di Sulsel masih memiliki potensi. Ada daerah yang belum dilirik adalah Luwu Raya. Tetapi orang Luwu Raya beli beras di Sidrap dan tantangan Bulog untuk membangun rice prosessing di Luwu Raya.

Tantangan yang ada saat ini petani kesulitan benih dan pupuk langkah, ini yang harus dibenahi, jika kebutuhan mereka bisa dipenuhi maka petani akan dapat diajak untuk bekerja sama.

"Untuk Sulsel juga akan melakukan upaya mengankan stok periode Februari-Mei ada 500 ribu hektar akan dipanen 1 juta ton" sebutnya.

Data Stok per 5 Februari 2019 dari Bulog Divre Sulselbar Beras medium 20 persen atau memiliki butir patah atau beras pecah (broken) maksimal 20 persen sebanyak 68.985.213 kg, beras komersial (15%) 2018 sebanyak 29.351.355 Kg, dan beras komerial (15%) 15.000 Kg.

Tujuan pengiriman ke NTT 48.000 Kg (premium 15% 2018), Kendari 2.000 ton (medium 20% 2018), Sulut 4.000 ton (medium 20% 2018). 200 ton (medium 15% 2018), Papua 26.500 ton (medium 20% 2018).

Untuk stok gula 19.531.790 kg, minyak goreng 35.132 liter, daging kerbau 87.875 kg, terigu 4.620 kg.

Pangdam XIV Hasanuddin Mayjen TNI Surawahadi, mengapresiasi sebagai wadah evaluasi sekaligus upaya khusus percepatan Sergap tahun 2019.

"Semoga forum ini kesepakatan agar mencapai target untuk wilayah Sulsel, Sulbar dan Sultra," harapnya.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi Hendriadi menyampaikan, ketahanan pangan hanya bisa tercapai jika pemerintah memiliki kekuatan.

"Saya selalu mendengar Sulsel aman karena cadangan beras kita lebih baik," ujarnya.

Pada kesempatan ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemprov Sulsel dan Bulog Divre Sulsebar tentang kedaulatan pangan, penguatan stok pangan dan penyediaan data dan informasi wilayah panen.

Hadir dalam kegiatan ini, Kepala Perum BULOG Divre Sulselbar Mansur, Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Tanaman Pangan dan Holtikultura Sulsel Fitriani, Waaster Kasdam XIV Hasanuddin Letkol Kav. Agus Waluyo, Waaster Kasdam XIV Hasanuddin Letkol Inf M. Akil, Tim Sergap Mabes TNI Kol. Bambang Supardi. (DiskominfoSandiSulsel)